By : Mr. Andri Ariestianto
“Ayo, Nak. Ayo, sini.... Ayo berdiri....ya, pintar. Ayo...lari kencang...ooops salah... Ayo jalan.. satu.. dua... oops.. (anak Anda jatuh). Nggak apa-apa... Bagus. Ayo berdiri lagi. Ya....maju sini... tabrak ini.. ooops salah... maju sini.....Wah...., anak mama ini hebat....bagus!”
“Ayo, Nak. Ayo, sini.... Ayo berdiri....ya, pintar. Ayo...lari kencang...ooops salah... Ayo jalan.. satu.. dua... oops.. (anak Anda jatuh). Nggak apa-apa... Bagus. Ayo berdiri lagi. Ya....maju sini... tabrak ini.. ooops salah... maju sini.....Wah...., anak mama ini hebat....bagus!”
Ini adalah potongan kalimat yang biasa kita gunakan saat kita mengajar anak kita berjalan. Tidak pernah saya menemukan orang tua atau siapa saja yang akan memaki atau memarahi anaknya ketika anaknya jatuh saat sedang belajar berjalan...”Bodoh. Goblok. Lemah. Begitu saja tidak bisa. Memang dasar anak blo’on. Sudah, nggak usah belajar jalan. Percuma saja ngajari kamu. Jatuh terus dan nggak bisa terus. Sudah..sana... kamu langsung belajar lari saja.. sekalian tabrak semua benda di depanmu. Kalau perlu belajar lari pakai sepatu roda!”.
Tentu Anda akan mengatakan, “Mana ada orang tua yang seperti itu. Kalau ada, maka orang tua itu perlu dimasukkan ke rumah sakit jiwa saja.”
Mengapa anak kita dapat belajar dengan begitu cepat dan seakan-akan tidak perlu mengeluarkan daya upaya khusus untuk menyerap semua informasi? Proses belajar berjalan demikian alami dan mudah. Mengapa ini bisa terjadi?. Ini semua karena anak belajar dalam suasana yang sangat kondusif. Suasana yang dipenuhi dengan pengharapan dan suasana positif. Ada perasaan didukung dan dicintai tanpa syarat. Kesalahan tidak dipandang sebagai suatu hal yang memalukan tetapi dimengerti sebagai suatu bagian dari keseluruhan proses, dan mereka diterima apa adanya sesuai dengan kecepatan belajar mereka.
Ingatkah Anda sewaktu Anda pertama kali belajar naik sepeda? Berapa kali Anda jatuh bangun untuk bisa menguasai keseimbangan? Saat Anda jatuh untuk pertama kalinya, apakah Anda langsung berhenti naik sepeda? Walaupun Anda jatuh berkali-kali dan mengalami luka di lutut atau kaki, mengapa Anda terus mencoba? Mungkin Anda pernah mengalami jatuh ke got, nabrak pot bunga, tapi mengapa masih Anda teruskan?
Ini semua karena kebahagiaan yang Anda rasakan saat Anda belajar mengendarai sepeda. Jatuh bangun tidaklah dipandang sebagai suatu kegagalan, tetapi lebih sebagai suatu harga yang harus dibayar untuk akhirnya bisa menikmati kemampuan bersepada. Cuma sayang... jaman Anda yang sekarang sudah jadi orang tua... belum ada Aktivasi Otak Tengah kayak di Indonesia Jenius. Jadi belum sempat menikmati sensasinya bersepeda dengan mata tertutup...ha...ha...ha..
Skenario ini berubah total saat anak masuk sekolah. Bila sekarang ini kita masuk ke suatu ruangan kelas, maka yang kita lihat adalah wajah-wajah yang bosan dan takut. Murid merasa bosan karena pemikiran yang kreatif dan rasa haus akan ilmu pengetahuan, semangat dan kebahagiaan yang seharusnya ada dalam setiap proses belajar, kini telah hilang. Ditambah lagi dengan tuntutan agar semua murid selalu bisa memberikan jawaban yang benar. Bila mereka membuat kesalahan, maka mereka mendapat hukuman. Murid atau anak kita tidak dimotivasi oleh rasa senang untuk belajar, tetapi lebih didorong oleh rasa takut untuk berbuat salah.
Sering kali menemukan diri kita tidak berani menjawab suatu pertanyaan bukan karena kita tidak tahu jawabannya, tetapi lebih karena didorong oleh rasa takut kalau jawaban kita salah. Kita khawatir kalau sampai jawaban kita salah maka kita akan terlihat bodoh dan ditertawakan orang lain.
PYGMALION EFFECT
Bebarapa tahun yang lalu saya mendapatkan sebuah buku yang memuat tentang penelitian yang dilakukan di Amerika.
Bebarapa tahun yang lalu saya mendapatkan sebuah buku yang memuat tentang penelitian yang dilakukan di Amerika.
Pada tahun 1968, Profesor Robert Rosenthal, Ph.D. dari Universitas Harvard melakukan suatu penelitian. Hasil penelitian ini lalu dituangkan ke dalam buku klasik yang berjudul “Pygmalion in the Classroom”.
Cerita singkatnya. Pada tahun ajaran baru, seorang kepala sekolah memanggil guru untuk diberikan pengarahan. Guru tersebut diberi kehormatan dan kesempatan untuk mengajar di kelas pilihan. Kelas ini berisi anak-anak dengan tingkat kecerdasan di atas rata-rata. Tentu saja guru tersebut sangat senang mengajar kelas pilihan ini. Dan akhir semester dilakukan evaluasi terhadap hasil belajar. Ternyata memang para murid itu mencapai hasil jauh diatas rata-rata. Dan sang guru tentu sangat bangga dengan prestasi ini. Berarti ia telah mengajar dengan baik.
Setelah melihat hasil evaluasi yang sangat baik, guru tersebut lalu diberi tahu bahwa sebenarnya murid di kelas pilihan ini adalah murid yang prestasinya biasa-biasa saja dan malah cenderung agak rendah. Selain itu mayoritas anak di kelas pilihan tersebut sebenarnya masuk dalam kategori anak bermasalah. Lalu, mengapa anak-anak tersebut dapat mencapai prestasi akademis yang begitu bagus?
PRESTASI BERBANDING LURUS DENGAN TINGKAT EKSPEKTASI
Hasil penelitian menunjukan bahwa prestasi murid berbanding lurus dengan tingkat ekspektasi (pengharapan) guru. Karena guru tidak tahu keadaan yang sesungguhnya dari anak didiknya, dan ia telah diberi “kehormatan” khusus, maka label yang ia berikan kepada muridnya adalah “anak istimewa atau anak cerdas”. Dan tentu saja guru ini sangat berharap anak didiknya akan berhasil. Selain mempunyai tingkat pengharapan yang tinggi, ia memberikan perhatian ekstra, sikap yang lebih baik, rasa cinta yang tulus, dan upaya mengajar yang lebih maksimal. Hasilnya...luar biasa.
Hasil penelitian menunjukan bahwa prestasi murid berbanding lurus dengan tingkat ekspektasi (pengharapan) guru. Karena guru tidak tahu keadaan yang sesungguhnya dari anak didiknya, dan ia telah diberi “kehormatan” khusus, maka label yang ia berikan kepada muridnya adalah “anak istimewa atau anak cerdas”. Dan tentu saja guru ini sangat berharap anak didiknya akan berhasil. Selain mempunyai tingkat pengharapan yang tinggi, ia memberikan perhatian ekstra, sikap yang lebih baik, rasa cinta yang tulus, dan upaya mengajar yang lebih maksimal. Hasilnya...luar biasa.
Pernah teman saya bertanya, “Mengapa ekpektasi (pengharapan) yang positif ini bisa berakibat sedemikian luar biasa?”. Saya lalu menjelaskan mengenai cara kerja pikirin. Pikiran mempunyai getaran atau frekuensi. Seberapa kuat getaran ini bergantung pada intensitas emosi yang mendasari pikiran itu. Dan getaran ini akan sampai kepada orang yang kita pikirkan. Ini akan mempengaruhi orang tersebut walaupun ia dalam kondisi sadar atau tidak sadar.
Banyak sudah yang membuktikan prinsip ini. Sistem pelatihan di Indonesia Jenius selalu menggunakan sistem ini. Trainer-trainer bahkan dilatih khusus tentang ekpektasi (pengharapan) pada anak peserta. Anak jauh lebih bagus perkembangannnya jika orang tua anak juga melakukan prinsip ini. Sehingga pikiran anak-anak penuh “keistimewaan”. Mengingat jumlah waktu anak lebih banyak di rumah dengan orang tua jika dibandingkan dengan di sekolah ataupun di pelatihan khusus di Indonesia Jenius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar